Sabtu, 07 November 2009

ILMU DAN KLASIFIKASI ILMU DALAM SEJARAH ISLAM

PENGERTIAN 'ILM DAN 'ULUM

‘Ilm, pengetahuan, merupakan landasan Islam. “Islam” bermakna pengakuan, kepatuhan, penyerahan, dan penghambaan atas kehendak Allāh. Kehendak Allāh ini dapat dikenali melalui pengetahuan, ‘ilm. ‘Ilm adalah Islam. Akan tetapi, para teolog tidak dapat menerima kebenaran teknis dari persamaan ini. Konsep ‘ilm telah mendominasi setiap aspek peradaban Islam, dan – bersama-sama dengan tawhīd -- berfungsi sebagai faktor penentu bagi pengakuan atas keesaan Tuhan, al-Dīn, agama yang benar, dan seterusnya. Pengaruhnya tidak hanya dirasakan kalangan khawas, tetapi juga kalangan awam. Tidak akan ada Islam tanpa ‘ilm. ‘Ilm, pengetahuan, senantiasa dihargai dalam komunitas muslim, ummah. Lebih dari itu, ‘ilm telah menjadi syarat penting untuk menyahihkan kepemimpinan politik dalam sejarah umat.

‘Ilm, lawan kata dari jahl (kebodohan), berkaitan dengan sejumlah istilah lain yang semakna, seperti ma’rifah, fiqh, hikmah, Shu’ūr, dan sebagainya. “Kata ‘alima yang dipakai dalam al-Qur’ān selain mengacu kepada pengetahuan yang sempurna dan tidak sempurna, juga keharusan “untuk mengetahui”. Akan tetapi, dalam makna kesempurnaan dan keharusan, cenderung bermakna “untuk belajar” (tanpa usaha). Bentukan kata kelima, ta’allama, menunjuk pada makna yang sama, tapi dengan nuansa kesungguhan belajar. ‘Ilm merupakan hasil dari tindakan gigih ini. Berbagai bentukan akar kata ‘ – l – m (ع- ل- م) dipakai hampir sebanyak 1% dari keseluruhan kata dalam al-Qur’ān atau disebut sebanyak 750 kali. “Al-Qur’ān berisi kurang lebih 78.000 kata”. Akan tetapi, kata ‘ulūm, bentuk-jamak yang diterima dari kata ’ilm, tidak ditemukan dalam al-Qur’ān.

’Ilm pada mulanya mengisyaratkan pada makna pengetahuan Allāh, mukjizat-Nya, tindakan-Nya atas para pesuruh dan makhluk-Nya. Pada saat Khalifah ‘Umar wafat, Ibn Mas’ūd menyatakan bahwa “’ilm kesembilan belas” telah tidak ada lagi, yang berarti pengetahuan yang dimiliki ‘Umar mengenai Allāh dan Islam. Makna yang dicakup istilah ’ilm mengalami perubahan dan semakin terbatas akibat perubahan waktu dan diterapkan hanya pada kalangan yang memperdebatkan kasus-kasus hukum dan sejenisnya.

’Ilm dan ma’rifah bermakna pengetahuan. Akan tetapi, karena berbagai bentukan yang timbul dari kata ma’rifah seperti ‘arīf dan ‘arrāf, maka kata ma’rifah cenderung digunakan untuk pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman dan perenungan keagamaan. ’Ilm digunakan pengetahuan spontan mengenai Allāh dan agama, sedangkan ma’rifah berarti “pengetahuan sekuler”. Akan tetapi, berbagai penulis menggunakan istilah yang berbeda dan seringkali makna masing-masing istilah dipertukarkan satu sama lain. Ma’rifat al-’ilm digunakan sebagai persamaan dari ’ilm, sedangkan pengetahuan atau ma’rifat al-hālī berarti pengetahuan seperti yang dipraktekkan dalam hidup keseharian. Dewasa ini, kata ’ilm seperti tampak dari ungkapan yang lazim dipakai di kalangan muslim (thalab al-’ilm) bermakna hadīth, yaitu pencarian yang menyita usaha yang panjang. Thālib al-’ilm, pencari pengetahuan, adalah istilah umum yang mengacu pada pelajar, terutama dalam pengetahuan keagamaan.

Seperti telah disebutkan sebelumnya, kata ‘ulūm, bentuk jama dari ’ilm, tidak terdapat dalam al-Qur’ān. “’Ilm sebagai konsep yang konkrit dengan bentuk jamaknya ‘ulūm, menurut perkiraan Rosenthal, telah diambil-alih oleh istilah lain dalam Islam, yaitu ’ilm sebagai konsep yang abstrak. “Tampaknya, pada masa-masa awal, “tidak ada gagasan tentang ‘ilm yang memiliki makna tersendiri sebagai bagian dari keseluruhan realitas agama yang dianggap sebagai pengetahuan dan hanya berkenaan dengan ihwal pribadi tentang hukum keagamaan dan teologi dan bahwa arti ini menjadi titik-tolak penggunaan 'ilm dalam pengertian khusus sebagai pengetahuan dalam disiplin kesarjanaan”. Sejalan dengan perkembangan waktu, timbul kesadaran bahwa tidak cukup dengan sebuah 'ilm melainkan sejumlah ‘ulum. Dalam kaitan ini, 'ilm dapat berarti sejumlah ‘ulum atau sebuah item informasi.


KLASIFIKASI ILMU

1. al-Fārābī

Sejalan dengan perkembangan waktu, ‘ulum dibagi dan diklasifikasikan ke dalam isi dan bentuk. Salah satu upaya yang paling awal untuk mengklasifikasikan ‘ulum dilakukan oleh al-Kindī, Abū Yūsuf ibn Ishaq (801-873 M.) atau sekitar abad ketiga Hijriyah. Akan tetapi, klasifikasi yang banyak diterima mengenai ‘ulum dibuat oleh Ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Tarkhān Abū Nashr al-Fārābī (wafat di Damaskus pada tahun 339 H/950 M), yang berasal dari Fārāb di kawasan Transoxania. Klasifikasinya mengenai ‘ulum mencakup: (a) pengetahuan bahasa; (b) pengetahuan logika; (c) pengetahuan matematik; aritmatik, geometri, optik, atrologi, “gaya” (berat), dan mekanik; (d) (1) pengetahuan teologis dan alamiah serta (d) (2) pengetahuan “teologi”, yang mencakup ilmu politik, fiqh (ilmu hukum), dan kalām (teologi skolastik).

Dalam De Ortu Scientarium, klasifikasi yang dimaksudkan oleh al-Fārābī, yang hanya terbit dalam bahasa Latin, ‘ulum (pengetahuan) diklasifikasikan dengan cara yang berbeda. Dalam hubungan ini,

1) pengetahuan alam yang berkaitan dengan hal-hal dan sebab sebab terjadinya perubahan benda. Pengetahuan tentang gerak dan diam ini lebih lanjut dibagi ke dalam:

a) astrologi yuridis (de judiciis);

b) kedokteran;

c) kewahyuan (de-nigromantia);

d) (penafsiran atas) visi (de imaginibus);

e) agrikultur;

f) navigasi;

g) alchemy (“pengetahuan untuk mengubah sesuatu ke dalam jenis-jenis baru”);

h) optik (de speculis).

2) a) pengetahuan mengenai 4 unsur pembentuk alam semesta, yaitu: api, udara, air, dan tanah dan 4 sifat yang menyertai masing-masing unsur panas, dingin, cair, dan kering.

b) (1) ‘ulum al-riyādiyah (pengetahuan matematis mengenai angka-angka)

(2) mensuration

(3) astronomi

(4) musik.

Dalam klasifikasi dan teoripengetahuan, al-Fārābī menekankan bahwa kebenaran agama (wahyu) dan kebenaran filsafat (akal) memiliki obyek yang sama, tetapi berbeda dalam bentuknya. Gagasan tentang pembagian pengetahuan ini cukup berpengaruh dan al-Fārābī merupakan pemikir pertama yang menghadirkan pemikiran filsafat yang kemudian diikuti oleh para ‘ulamā` dan hukamā`.

2. Ibn Sīnā

Abū ‘Alī al-Husayn ibn Sīnā (Avicenna dalam bahasa Latin atau Aven Sina dalam bahasa Ibrani) lahir pada tahun 980 M dan wafat 428 H/1037 M. Di kalangan orang Arab, ia dikenal sebagai al-syaikh al-ra`īs (maharaja dalam pengetahuan) atau mu’allim al-tsānī (guru kedua setelah Aristoteles). Ia dilahirkan dekat Bukhara, tinggal kawasan timur dunia muslim, dan dikuburkan di Hamadan. Ia pelanjut terpenting dari al-Fārābī. Ia mengikuti al-Fārābī dalam menyatukan ‘ilm dan hikmah (filsafat) dan mengungkapkan serta menekankan aspek-aspek Platonik. Kemudian, ia membagi ‘ulum ke dalam dua bagian, seperti terlihat dari dua krya ringkasnya mengenai topik ini, yaitu Risālah Taqsīm al-‘Ulūm:

1) pengetahuan teoritis atau spekulatif yang berguna dalam pencarian atas keyakinan yang kuat mengenai segala sesuatu yang keberadaannya melampaui kegiatan manusia, “tujuannya adalah hanya pembentukan pandangan-pandangan akal (ra`y), semisal pengetahuan atau keyakinan tentang keesaan Tuhan dan pengetahuan mengenai predestinasi (qismah);

2) (pengetahuan) praktis yang berguna dalam pencarian pandangan-pandangan rasional untuk memperoleh “kebaikan” dengan pandangan untuk tindakan.

Pembagian lain mengenai ‘ulum menurut ibn Sīnā adalah:

1) pengetahuan yang lebih rendah, yang disebut sebagai pengetahuan tentang kealaman atau ‘ilm al-thabī’iyāh. Pengetahuan ini dibagi lagi ke dalam 2 subbagian:

a) dasar atau prinsip yang berkaitan dengan kualitas-kualitas yang dimiliki oleh benda-benda alamiah – materi, bentuk, gerak, ciri dan sebab atau syarat produksi;

b) cabang atau turunan pengetahuan yang berkaitan dengan keadaan-keadaan, gerak dan diam unsur-unsur utama dunia, termasuk benda-benda langit. Bagian turunan-pengetahuan ini dibagi ke dalam berbagai bagian: kedokteran, astronomi, penafsiran atas gagasan (ta1bir), magis (‘ilm al-thilismat), dan alkemia.

2) pengetahuan menengah, yang disebut pengetahuan propaedeutis atau al-‘ilm al-riyaddhiyah; dan

3) Pengetahuan yang lebih atas yang dikenal sebagai pengetahuan “teologis” atau ‘ilm al-ilahiyyah.

3. Al-Ghazzali

Abū Hamīd Muhammad al-Ghazzālī (dalam bahasa Latin, dikenal sebagai Algazel) adalah teolog Islam terkemuka serta pemikir yang cemerlang dan orisinal, yang ditetapkan oleh kaum Muslim dan bangsa Eropa sebagai muslim terbaik setelah Muhammad saw. Ia dilahirkan pada tahun 450 H/1058 M di Thus, Khurasan, Mashhad, Iran, dan meninggal pada tahun 505 H/1111 M. Klasifikasinya tentang ‘ulum dapat dianalisis berdasarkan tiga keriteria: (1) klasifikasi ‘ulum berdasarkan tingkat kewajiban; (2) klasifikasi ‘ulum berdasarkan sumber; dan (3) klasifikasi ‘ulum berrdasarkan fungsi sosial.

1) klasifikasi ‘ulum berdasarkan tingkat kewajiban menurut al-Ghazzālī

a) pengetahuan yang menjadi kewajiban pribadi (fardh ‘ayn): kewajibannya merupakan kewajiban syari’ah. Ia bertolak dengan pengetahuan mengenai “lima tiang” Islam dan ketika pengetahuan ini melekat pada individu: syahadat, solat, zakat, puasa, dan haji. Pengetahuan inipun menjadi kewajiban untuk mempelajari tentang :

(1) gagasan dan tindakan yang diharuskan atau dilarang menurut hukum Islam; dan

(2) keyakinan dan tindakan “qalbu”. ‘Ilm al-mu’āmalah (pengetahuan mengenai transaksi) secara tradisional berhubungan dengan hukum keperdataan Islam. Sekalipun demikian, al-Ghazzālī mengembalikannya pada persoalan etika. Hal ini berkaitan dengan fakta bahwa persoalan ini seringkali dilupakan para ahli hukum. Untuk memperbaiki pengetahuan kalbu ia melakukan semacam “perang suci”. Ini merupakan perjuangan untuk menemukan surga dan menghindarkan neraka. Bahkan, iapun menamakannya sebagai “pengetahuan ukhrawi”. Ia memasukkannya “kelembutan” pada keyakinan dan perbuatan yang menjadi tugas tanpa henti setiap manusia.

(3) ‘Ilm al-muhāshafah (ilmu tentang wahyu) merupakan pengetahuan esoteris mengenai hal-hal yang bersifat transenden, seperti pengetahuan mengenai malaikat, sifat-sifat Allāh, kenabian, dan sebagainya. Semua orang dituntut untuk meyakininya, seperti para Nabi a.s. dan “orang-orang yang takarub dengan Allāh” memiliki pengetahuan nyata mengenai semua misteri ini. Akan tetapi, orang kebanyakan diharapkan membatasi pengetahuan mereka pada hal-hal yang dibolehkan oleh hukum Islam, karena pengetahuan mengenai realitas transendental berada di luar wilayah kajian para filosof dan teolog.

c) Kewajiban sosial (fardh kifāyah) dari ‘ulūm. Pengetahuan mengenai ‘ulūm ini merupakan kewajiban (fardh) untuk komunitas muslim secara keseluruhan. Akan tetapi, kewajiban tersebut akan menjadi bagi sebagian sosial karena dikenakan pada sebagian anggota komunitas muslim yang secara khusus menekuni cabang-cabang pengetahuan tertentu. Kesemuanya “mencakup setiap pengetahuan, tanpa kecuali, yang dimaksudkan untuk kemaslahatan dunia”, yang tanpanya “komunitas muslim akan diturunkan ke posisi paling rendah”.

2) Klasifikasi ‘Ulūm berdasarkan Sumber

a) Pengetahuan syarī’yah (‘ulūm syarī’yah). Pengetahuan-pengetahuan ini “diterima oleh Nabi Muhammad saw. tidak melalui penalaran, seperti aritmetika, atau pendengaran, seperti bahasa”. Pengetahuan-pengetahuan ini berhubungan dengan sumber ajaran yang pertama dan kedua, yaitu al-Qur’ān dan Sunnah. Furū (cabang) dari pengetahuan ini bersumber dari sumber-sumber syarī’ah melalui proses penalaran, yang meliputi:

(1) fiqh, dan

(2) “pengetahuan mengenai ihwal hati`”.

b) pengetahuan-pengetahuan non-syarī’yah (‘ulūm ghayr syarī’-yah). Sumber-sumber primer dari ‘ulūm ghayr syarī’yah adalah akal, pengamatan, dan sebagainya. ‘Ulūm yang dibolehkan (mubāh) adalah “pengetahuan-pengetahuan yang tidak secara tegas dilarang oleh syari’ah, yang mencakup pengetahuan-pengetahuan rasional dan filosofis.

3) Klasifikasi berdasarkan Fungsi Sosial

a) pengetahuan-pengetahuan yang terpuji (mahmūd), yaitu pengetahuan-pengetahuan yang bermanfaat dan tidak dapat dielakkan, karena aktivitas kehidupan bergantung kepada pengetahuan-pengetahuan tersebut, misalnya pengobatan dan aritmatika.

b) pengetahuan-pengetahuan yang tercela (madzmūm), seperti pengetahuan-pengetahuan magis, astrologi, dan sebagainya.

Perbedaan antara pengetahuan yang terpuji dengan pengetahauan yang tercela didasarkan pada kriteria: jika pengetahuan dapat “melilhat segala sesuatu apa adanya, seperti salah satu sifat Allāh”. Ketika ditanya mengenai kemungkinan adanya pengetahuan yang terpuji, sekaligus tercela, al-Ghazzāli menggambarkan nilai dan kesempurnaan pengetahuan dalam bab pertama kitabnya, Kitāb al-‘Ilm.

4. Ibn Khaldūn

‘Abd al-Rahmān ibn Khaldūn (732-808 H/1332-1406 M) merupakan “ahli sejarah filsafat pertama dan berpengaruh hingga abad kesembilan belas”. Ia dilahirkan dari keluarga Arab-Spanyol. Hingga berusia 40 tahun, ia tinggal Spanyol-Muslim dan Afrika Utara. Ia mengabdi pada berbagai penguasa dengan posisi penting dalam setiap struktur pemerintahan tempatnya mengabdi.

Sejak tahun 784 H/1382 M sampai meninggal, ia bekerja sebagai profesor dan Hakim Kepala di Mesir. Ia dikenal sebagai ahli sejarah dan sosiolog politik, ilmu ekonomi, kehidupan perkotaan, dan pengetahuan. Kemashurannya terlihat dari karyanya yang berjudul Muqaddimah (Prolegomena), juga Universal History dan Kitāb al-`Ibār wa Diwān al-Mubtadā wa al-Khabar fī Ayām al-‘Arab wa al-Ajam wa al-Barbar. Kitab-kitab tersebut ditulis selama masa pensiun di perbatasan Algeria dalam jangka waktu kurang dari 4 tahun (776 779H/1375-1377 M.

Ibn Khaldūn memiliki kesamaan pandangan dengan al-Ghazzali. Ia membagi pengetahuan ke dalam du klasifikasi utama, yaitu pengetahuan syarī’ah dan pengetahuan filsafat. Pengetahuan-pengetahuan berbasis syari’ah (naqliyah, wadh’īyyah, atau positif). Pengetahuan ini merupakan pengetahuan institusional yang didasarkan pada informasi-informasi yang bersumber dari al-Qur’ān dan Sunnah. Dalam pengetahuan-pengetahuan ini, tidak ada ruang untuk penalaran akal kecuali dalam penerapan praktis dan deduktif. Temuan-temuan yang bertentangan dengan hukum Islam (bid’ah), teologi spekulatif, shūfīsm, dan sebagainya ditambahkan ke dalam pengetahuan-pengetahuan jenis ini. “Semua pengetahuan yang diperoleh melalui transmisi ini secara ekslusif merupakan miliki komutias mulism dan semua anggotanya. Sekalipun terdapat pengetahuan-pengetahuan sejenis pada setiap komunitas, namun kesamaannya sangat jauh (jins ba’īd) selama kesemua pengetahuan itu termasuk ke dalam pengetahuan hukum … “. Dengan demikian, setiap komunitas atau bangsa di dunia memiliki hukum (syari’ah) tersendiri untuk pasokan doma dan doktrin serta kaidah-kaidah mengenai perbuatan yang harus, dianjurkan, dibolehkan, dicela, dan dilarang untuk dilakukan. Agama-agama lain tertarik pada konsep “agama” yang sempit, sehingga menafikan politik dan kepemimpinan dari organisasi sosial komunitas agama tersebut. Oleh karena itu, sulit dibandingkan dengan syari’ah Islam.

Nabi memiliki pengetahuan yang berada di luar jangkauan penalaran teoritis, yang tidak dapat dikenali oleh semua mukmin. Oleh karena itu, lebih baik bagi kebanyakan mukmin untuk tidak membuang waktu dengan kebenaran rasional dari segala sesuatu yang ghayb. Apabila metafisika dijadikan objek pengetahuan teoritis, maka “pemikiran akan tersesat dan hilang serta tidak meperoleh pandangan yang benar”.

5. Klasifikasi Lain

a. ‘Ilm al-Abdan dan ‘Ilm al-Adyān

Nabi Muhammad saw. diberitakan telah berkata bahwa pengetahuan dibagi ke dalam dua bagian: pengetahuan tentang keagamaan dan pengetahuan tentang tubuh (al-‘ilm al-ilmān, al-‘ilm al-adyān dan al-‘ilm al-abadān). Dalam kaitannya dengan nilai, maka pengetahuan bertumpu pada teologi dan kedokteran. Hal itu telah ditafsirkan pula bahwa pengetahuan dibedakan menjadi pengetahuan yang abstrak dan pengetahuan yang konkrit atau pengetahuan metafisik dan fisik. Klasifikasi ini menjelaskan bahwa dalam Islam pengetahuan alamiah atau fisika tidak bertentangan dengan ajaran agama. “Islam mencakup keseluruhan hidup, agama [umat Islam] merupakan agama yang agung, karena mencakup semua yang hal yang dikenal sebagai gejala alam”.

b. ‘Ilm Inti dan ‘Ilm Bantu

Pengetahuan inti adalah teologi, etika, fiqh, ushūl fiqh, dan pengetahuan mengenai al-Qur’ān dan al-Sunnah (Hadīts). Adapun pengetahuan-bantu adalah tatabahasa, retorika, logika, metodologi, dan matematika.

c. ‘Ulūm al-‘Arab dan ‘Ulūm al-Ajam

Pengetahuan-pengetahuan yang berhubungan dengan al-Qur’ān, Hadīts, dan fiqh, yang menggunakan bahasa Arab, dikenal sebagai ‘Ulūm al-‘Arab, “pengetahuan-pengetahuan Arab”. Pengetahuan-pengetahuan “sekuler” yang berasal dari bahasa asing (Yunani, Persia, dan India) serta sumber-sumber kuno disebut sebagai ‘Ulūm al-Ajam (“pengetahuan-pengetahuan no-Arab”) atau ‘Ulūm al-Awā’il (“pengetahuan-pengetahuan kuno”). Pengetahuan Arab-Islam merupakan pengetahuan yang dipandang sangat penting sejalan dengan pekembangan waktu. Klasifikasi pengetahuan ke dalam pengetahuan yang terpuji (mahmūdah) dan tercela (madhzūmah) merupakan klasifikasi pengnetahuan yang cukup penting.

d. Pengetahuan Naqliyah (yang berbasis wahyu) dan ‘Aqliyah (yang berbasis akal dan intelektual)

Klasifikasi ini dikemukakan oleh Ibn Khaldūn. Akan tetapi, pemikir lain memiliki pandangan yang sama. Pengetahuan-pengetahuan yang berhubungan dengan al-Qur’ān (seperti kalam Allāh, tajwid, bacaan, pemahaman dan penafsiran) dan al-Sunnah (semisal priwayatan hadīts), hukum, kaidah-kaidah hukum, pemahaman dan pengamalan ibadah, merupakan naqliyah ‘ulūm. Pada umumnya, kesemuanya merupakan ‘Ulūm al-‘Arab sesuai dengan klasifikasi sebelumnya. ‘Ulūm yang tidak berhubungan langsung dengan agama disebut ‘aqliyah ‘ulūm, karena kebanyakan merupakan ‘ulūm al-ajam, yang meliputi pengnetahuan-pengetahuan alamiah, filsafat, dan “asing”.

e. ‘Ulūm yang Dibutuhkan dan ‘Ulūm yang Diwajibkan

Pengetahuan-pengetahuan yang dibutuhkan adalah intuisi dan fakta sejarah serta geografi yang dikenal sebagai laporan umum. Adapun pengetahuan-pengetahuan yang diwajibkan dijamin melalui penerapan akal. Fakta penting yang dikenalkan wahyu melahirkan pengetahuan-pengetahuan yang dibutuhkan.


Bahan Bacaan


Al-Ghazzāli, The Book of Knowledge, terj. N. A. Faris, Lahore, 1962

Al-Ghazzāli, “al-Munqidh min al-Dhalāl”, The Faith and the Practice of al-Ghazzāli, terj. W. M. Watt, London: George Allen, 1953

A. S. Tritton, Islam: Belief and Practice, London: 1954

D. B. McDonald, Development of Muslim Theology, Jurisprudence, and Constitutional Theory, Lahore, 1960

Encyclopaedia of Islam, vol. 3, Leiden, 1971, artikel oleh editor, ‘Ilm

F. Rosenthal, Knowledge Triumphant: The Concept of Knowledge in Medieval Islam, E. J. Vrill, 1970

Ghazzālī, The Book of Knowledge, trans. M. A. Faris, Lahore, 1962

Ibrahim Madkour, “Al-Fārābī”, M. M. Syarif (ed.), A History of Muslim Philosophy, Pak. Fhil. Cong, 1963, Vol. 1

Ibn Khaldūn, The Muqaddimah: An Introduction to History, terj. F. Rosenthal, Princeton, 1967, vol. II.,

Phillip K. Hitti, The History of Arabs, London, 1970

Reuben Levy, The Social Structure of Islam, Cambridge, 1969

Syaikh Ali Hujwayri, Kasyf al-Mahjūb, terjemahan dari bahasa Urdu oleh Miyan Thufayl Muhammad, Delhi, 1979

S. Waqar Ahmad Husaini, Principles of Environmental Engineering System Planning in Islamic Culture, Stanford, 1971, hlm. 57



Tidak ada komentar: